NAVIGASI

Wednesday 29 February 2012

HUMOR TENTANG PENDIDIKAN EPISODE 3

Tidak terasa kita sudah bertemu di episode ke 3, humor tentang pendidikan. Kenapa kok saya nulis humor tentang pendidikan terus ? Karena pendidikan di Indonesia masih sangat perlu dihibur dengan humoran segar. Karena pendidikan yang segar lebih bervitanim dibanding dengan Buah Segar hasil Expor.

Stttt… jangan berisik. Sekarang kita akan bicara soal kepala sekolah. Kalau dia dengar bisa dipecat saya.
Kepala sekolah adalah guru yang diberi tambahan tugas mengatur administrasi kantor, motivator, supervisor, sekaligus tukang membersihakan kantor, jika tidak ada penjaga sekolahnya. Tapi sekarang malah ada indikasi kepala sekolah adalah guru yang mempunyai kendaraan bermotor lebih bagus dari gurunya.

Kepala sekolah mempunyai tugas menilai kinerja para guru disekolahnya. Kepala sekolah dalam menilai gurunya harus objektif, terbuka, adil, makmur, aman , sentosa, gemah ripah loch…kok ngaco.

Kepala sekolah sama dengan kepala ikan. Sesekali muncul ke permukaan, terus menghilang tanpa kabar, apalagi kalau sedang banyak santapan yang melezatkan. 

Kepala sekolah, sama dengan kepala kendaraan, kalau sudah panas sering ngadat dan mogok di tengah jalan. Kepala sekolah sama dengan kepala kereta api, sering teriak-teriak keras sebelum sampai ke tujuan yang diharapkan, tidak perduli teriakknya membuat telinga orang lain sakit.

Kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang tidak cuman pandai menjumlah, mengurang, dan mengali. Tapi juga harus pandai membagi. Membagi tugas kepada rekan kerjanya di sekolah, dan membagi honor yang adil sesuai dengan kinerja bawahannya.

Kepala sekolah haruslah orang yang memiliki kelebihan. Kelebihan dalam pengetahuan, teknik kepemimpinan, dan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa. Jangan Cuma mempunyai kelebihan penghasilan disbanding bawahnya bawahannya.

Menyangkut BOS, kepala sekolah adalah orang yang harus mampu mengatur proses pengeluarannya, sesuai dengan petunjuk teknis pengelolaan BOS, bukan menurut teknik petunjuk istri dan keluarganya di rumah. 

Kepala sekolah harus membersihkan lingkungan sekolahnya dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme. Jangan memasukkan anak, saudara, kerabat atau kenalannya menjadi guru tanpa memperhatikan kompetensi orang tersebut. Jangan pilih bulu pada bawahannya, karena kalau kepala sekolah pilih bulu, kasihan bawahanya yang tidak punya bulu.

Kepala sekolah harus mempunyai akhlak mulia. Akhal yang harus menjadi tauladan bagi rekan kerja dan bawahannya, bukan akhlak bali, akhlak condet, eh… itu mah salak yah…? Maaf pembaca jangan salak dong. Saya jadi takut nih. Ih itu mah galak, yah.

Kepala sekolah bukan pegembala ternak, yang dapat seenaknya menggiring bawahnannya sesuka hatinya, tanpa arah yang jelas dan tujuan yang jelas pula. Sebab kalau salah memilih arah tujuan bisa nyasar kemana-mana? Makanya supaya tahu arah dan tujuan yang benar, tanyakan pada sopir atau kondektur, asal jangan Tanya pada pilot saat dalam penerbangan.

Kepala sekolah harus meliki Visi, Misi dan moto. Mau poto babat kek, moto ayam ke. Semangkok lima ribu. Hehe…he…..he… ngawur banget sih. Namanya juga humor, tidak apa-apa yah.

Kepala sekolah memiliki kewajiban mengajar di kelas sebagai guru mata pelajaran, minimal 6 jam perminggunya. Artinya setiap satu Minggu wajib mengajar enam jam. Tapi banyak guru yang tidak mengajar, denganalas an ia sudah mengajar anaknya di rumah. Atau sibuk mengurus keuangan BOS yang rumit dan banyak aturannya.

Saturday 25 February 2012

HUMOR TEMA PENDIDIKAN EPOSE 2

Biacara soal Pendidikan, maka akan berbicara masalah sekolah. Bersekolah bagi kebanyakan masyakarat Indonesia kurang dianggap menjanjikan. Kenapa…? Karena kita terlalu banyak mendengar janji-janji palsu. Dan semua rakyat Indonesia sudah bosan menagagih janji yang tidak pernah dilunasi. Kita tidak butuh janji, tapi butuh bukti, butuh beras, butuh kepastian dan butuh ketegasan pemerintah untuk tidak selalu menaikkan harga BBM.

Sekolah bukan lah sek… o… la.. lah. Sekolah bukanlah tempat belajar mencoba hal-hal yang dilarang tapi tempat belajar hal-hal yang dianjurkan. Tapi apakah siswa tahu mana yang dilarang dan mana yang dianjurkan? Jangan kan siswa, orang-orang pilihan di tingkat DPR saja seperti banyak tidak tahunya di banding dengan tahunya. Lihat saja di meja sidang. Jawabanya Cuma sekitar..”tidak tahu.” Atau “lupa.” Apalagi siwa, pasti lebih bayak tidak tahu dan lebih banyak lupa.

Sekolah adalah tempat belajar. Dan sayangnya belajar kok bisa diartikan siswa sebagai bela diri lalu menghajar. Hasilnya ya jadi tauran. Belajar adalah upaya pelajar untuk menuntut ilmu. Tapi pelajar justru mempunyai kesalahan arti menjadi perdayai lawan dengan dihajar. Itukan jadi kurang ajar namanya. Coba saja, masa pelajar SD sudah berani menusuk temannya dengan senjata tajam..?

Saat diteliti oleh akhli jawabanya pasti mencari kambing hitam pada acara-acara TV yang penuh kekerasan. Kok kambing hitam di salahkan…? Emang kambing hitam ikut sekolah? Dan kasus AM siswa SD yang menusuk temannya itu, katanya karena di rumahnya sering mendapatkan perlakukan kekerasan dari keluarganya. Dan akibat dari terlalu banyak bemain game online. Ini ada indikasi bahwa gurunya di sekolah sudah kalah pengaruh dengan game online. Atau jangan-jangan gurunya juga keranjingan game online, sehingga siswa-siswanya termotivasi untuk bermain game online juga. Kan ada pribahasa yang mengatakan “Buah apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.”

Tapi memang pribahasa itu sudah tidak tepat kali yah. Buktinya buah apel sekarang sudah banyak jatuh di pasar buah, jatuh dari keranjang buah, jatuh dari kulkas, padahal di situ tidak ada pohon apelnya. Makanya tidak aneh kalau pribadi siswa akan sangat jauh dari karate gurunya. Sebab guru dan siswa jarang makan apel. Kok jadi ngaco.

Sekolah menduduki tempat yang paling menakutkan tingkat kedua setelah kematian. Kenapa…? Karena sekolah dan kematian sama-sama membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan sama-sama selalu membuat repot dengan segala permasalahnya.

Sekolah meruapakan rangkaian perasaan takut sejak awal sampai akhir. Saat awal masuk sekolah, siswa takut mendapat sekolah yang bukan pilihannya. Saat kenaikan kelas, siswa takut tidak naik. Saat Ujian siswa takut tidak lulus. Saat lulus siswa juga takut tidak dapat menebus ijazahnya.
Sekolah identik dengan peraihan ijazah. Oleh karena itu, maka bagi mereka yang tidak mempunyai Ijazah SD, ia dapat mengikuti Kejar Paket A. Yang tidak punyai ijazah SMP, ia bisa ikut Kejar Paket B. Yang tidak punya Ijazah SMA, bisa mengikuti Kejar Paket C. Yang mempunyai ijazah tanpa sekolah, seharusnya dikejar polisi dong yah…?

Namanya juka Kejar Paket. Makanya tidak aneh jika sekolahnya hanya satu tahun terus dapat ijazah. Kejar paket kan hampir sama dengan kejat tayang bagi acara TV. Dikerjakan dengan cepat, yang penting laku walau harganya murah, masalah kualitas bukan jaminan.

Sebentar lagi malah akan dicanangkan wajib sekolah 12 tahu. Loch… yang sebembilan tahun saja belum berhasil kok sudah yang ke 12 sih..? Jaangan-jangan ikut-ikutan film nasional nih, dari Kuntil anak, ke kuntil anak 2, sampai kuntil anak vs kuntil ibu.

Sekolah di Indonesia bisa seperti cerita sinetron, berisikan khayalan dan mimpi-mimpi indah, direkayasa alur kisahnya, dipanjang-panjangkan ceritanya, dan akhir episodenya tetap membingungkan penontonnya. Artinya, walau susah payah sekolah, setelah lulus, tetap bingung harus kemana…?

Ini penomena betapa menakutkannya sekolah bagai anak. Ada sebuah dialog seorang anak wanita lulusan SMP ditanya papanya :
“ Nak… kamu pilih melanjutkan sekolah atau papah nikahkan…?”
“ Tidak dua-duanya…” Jawab anaknya pasti dan meyakinkan.
“ Kenapa…?”
“ Karena sekolah dan nikah sama-sama bisa membuat aku stress, pah.”

Penomena itu menandakan bahwa banyak anak merasa tidak mempunyai harapan saat ia besekolah. Seolah-olah sekolah bukanlah pilihan yang terbaik untuk dirinya. Dia tidak mau menjadi orang pintar, karena orang pintar hanya diukur dengan minum obat masuk angin.
Biacara soal Pendidikan, maka akan berbicara masalah sekolah. Bersekolah bagi kebanyakan masyakarat Indonesia kurang dianggap menjanjikan. Kenapa…? Karena kita terlalu banyak mendengar janji-janji palsu. Dan semua rakyat Indonesia sudah bosan menagagih janji yang tidak pernah dilunasi. Kita tidak butuh janji, tapi butuh bukti, butuh beras, butuh kepastian dan butuh ketegasan pemerintah untuk tidak selalu menaikkan harga BBM.

Sekolah bukan lah sek… o… la.. lah. Sekolah bukanlah tempat belajar mencoba hal-hal yang dilarang tapi tempat belajar hal-hal yang dianjurkan. Tapi apakah siswa tahu mana yang dilarang dan mana yang dianjurkan? Jangan kan siswa, orang-orang pilihan di tingkat DPR saja seperti banyak tidak tahunya di banding dengan tahunya. Lihat saja di meja sidang. Jawabanya Cuma sekitar..”tidak tahu.” Atau “lupa.” Apalagi siwa, pasti lebih bayak tidak tahu dan lebih banyak lupa.

Sekolah adalah tempat belajar. Dan sayangnya belajar kok bisa diartikan siswa sebagai bela diri lalu menghajar. Hasilnya ya jadi tauran. Belajar adalah upaya pelajar untuk menuntut ilmu. Tapi pelajar justru mempunyai kesalahan arti menjadi perdayai lawan dengan dihajar. Itukan jadi kurang ajar namanya. Coba saja, masa pelajar SD sudah berani menusuk temannya dengan senjata tajam..?

Saat diteliti oleh akhli jawabanya pasti mencari kambing hitam pada acara-acara TV yang penuh kekerasan. Kok kambing hitam di salahkan…? Emang kambing hitam ikut sekolah? Dan kasus AM siswa SD yang menusuk temannya itu, katanya karena di rumahnya sering mendapatkan perlakukan kekerasan dari keluarganya. Dan akibat dari terlalu banyak bemain game online. Ini ada indikasi bahwa gurunya di sekolah sudah kalah pengaruh dengan game online. Atau jangan-jangan gurunya juga keranjingan game online, sehingga siswa-siswanya termotivasi untuk bermain game online juga. Kan ada pribahasa yang mengatakan “Buah apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.”

Tapi memang pribahasa itu sudah tidak tepat kali yah. Buktinya buah apel sekarang sudah banyak jatuh di pasar buah, jatuh dari keranjang buah, jatuh dari kulkas, padahal di situ tidak ada pohon apelnya. Makanya tidak aneh kalau pribadi siswa akan sangat jauh dari karate gurunya. Sebab guru dan siswa jarang makan apel. Kok jadi ngaco.

Sekolah menduduki tempat yang paling menakutkan tingkat kedua setelah kematian. Kenapa…? Karena sekolah dan kematian sama-sama membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan sama-sama selalu membuat repot dengan segala permasalahnya.

Sekolah meruapakan rangkaian perasaan takut sejak awal sampai akhir. Saat awal masuk sekolah, siswa takut mendapat sekolah yang bukan pilihannya. Saat kenaikan kelas, siswa takut tidak naik. Saat Ujian siswa takut tidak lulus. Saat lulus siswa juga takut tidak dapat menebus ijazahnya.

Sekolah identik dengan peraihan ijazah. Oleh karena itu, maka bagi mereka yang tidak mempunyai Ijazah SD, ia dapat mengikuti Kejar Paket A. Yang tidak punyai ijazah SMP, ia bisa ikut Kejar Paket B. Yang tidak punya Ijazah SMA, bisa mengikuti Kejar Paket C. Yang mempunyai ijazah tanpa sekolah, seharusnya dikejar polisi dong yah…?

Namanya juka Kejar Paket. Makanya tidak aneh jika sekolahnya hanya satu tahun terus dapat ijazah. Kejar paket kan hampir sama dengan kejat tayang bagi acara TV. Dikerjakan dengan cepat, yang penting laku walau harganya murah, masalah kualitas bukan jaminan.

Sebentar lagi malah akan dicanangkan wajib sekolah 12 tahu. Loch… yang sebembilan tahun saja belum berhasil kok sudah yang ke 12 sih..? Jaangan-jangan ikut-ikutan film nasional nih, dari Kuntil anak, ke kuntil anak 2, sampai kuntil anak vs kuntil ibu.

Sekolah di Indonesia bisa seperti cerita sinetron, berisikan khayalan dan mimpi-mimpi indah, direkayasa alur kisahnya, dipanjang-panjangkan ceritanya, dan akhir episodenya tetap membingungkan penontonnya. Artinya, walau susah payah sekolah, setelah lulus, tetap bingung harus kemana…?

Ini penomena betapa menakutkannya sekolah bagai anak. Ada sebuah dialog seorang anak wanita lulusan SMP ditanya papanya :

“ Nak… kamu pilih melanjutkan sekolah atau papah nikahkan…?”

“ Tidak dua-duanya…” Jawab anaknya pasti dan meyakinkan.

“ Kenapa…?”

“ Karena sekolah dan nikah sama-sama bisa membuat aku stress, pah.”

Penomena itu menandakan bahwa banyak anak merasa tidak mempunyai harapan saat ia besekolah. Seolah-olah sekolah bukanlah pilihan yang terbaik untuk dirinya. Dia tidak mau menjadi orang pintar, karena orang pintar hanya diukur dengan minum obat masuk angin.

Wednesday 22 February 2012

(CERITA HUMOR) LASKAR LIMA “D” DALAM MENEMBUS BATAS

BAGIAN I

Alkisah, pasti beda dengan alpukat. Apalagi dengan Almanak. Kalau tidak percaya, Tanya saja toko sebalah, pasti juga tidak punya jawabannya, karena yang tahu jawabannya cuman “rumput yang begoyang” itu pun baru menurut lagu Bang Iwan Fals. Cerita yang terjadi di negeri Antah Berantah, tetangganya negeri Antah Dimana, yang berdekatan dengan negeri Antah lah aku tidak tahu ini adalah kisah nyata. Itu pun kalau pembaca percaya, sebab penulis sekali pun sama sekali tidak percaya. Sumpah berani kaya seumur hidup, penulis sama sekali tidak percaya kalau cerita ini kisah nyata.

Adalah Dodo, Didi, Dadang, Dudung, dan Diding merupakan lima sekawan yang berjulu Laskar lima D. Mereka bagai seikat kangkung yang tak terpisahkan, ibarat konde rambut yang terpadukan dan seperti segumpal awan yang tak teruraikan. Bersekolah di SD Lidah Bergoyang. Sebuah sekolah berdinding papan kayu dan beratap rumbia yang Alhamdulillah sudah hampir enam tahun sejak didirikan belum pernah diperbaiki. Bangunannya hanya ada satu lokal. Tiga kelas belajar, satu ruang guru, tidak ada ruang kantor kepala sekolah, dan tidak terdapat WC siswa maupun guru. Muridnya saja hanya ada 30 orang, terdiri dari enam kelas. Rata-rata per kelasnya 30 orang dibagi 6 hasilnya hitung sendiri yah.

Sekolah ini memang hampir saja ditutup oleh pemerintah desa setempat. Selaian karena muridnya hanya sedikit, juga letaknya yang sangat menghawatirkan. Lokasinya di pinggir sebelah kiri sungai lebar berbatu-batu besar, tapi berair bening. Aliran airnya agak deras. Derai laju airnya yang menyentuh batu-batu besar seperti menimbulkan bunyi irama lagu kantri yang mendayu-dayu. Bahkan terkadang bisa juga mengeluarkan lagu hip-hop, dangdut, nasyid, atau rok, tergantung aliran mana yang sedang naik daun. Malah belakangan ini cenderung mengalunkan lagu-lagu para Boy Band ternama dari Negara tetangga.

Di sisi kanan sekolah terdapat hamparan tanah lapang yang berilalang dan rumput-rumput panjang yang menghalngi pandang, tempat kambing dan kerbau berncengkrama saling mendikusikan nasibnya masing-masing. Tempat sapi-sapi gemuk yang saling berbagi tip-tip terbaik demi membahagiakan tuanya. Dan tempat anak-anak yang terkadang terpaksa harus terkena ranjau kotoran sapi dan kerbau saat berangkat ke sekolah.

Tidak ada terdapat jalan raya di dekat sekolah. Hanya jalan setapak tanah merah yang menghubungkan sekolah ini ke pemukiman kampung kumuh tempat tinggal sebagian besar murid di sekolah ini. Sebuah perkampungan terisolir yang tidak pernah tersentuh pembangunan pasilitas umum dari pemerintah negeri Antah Berntah yang masih sangat mentah, bergetah dan sering membuat muntah-muntah. “Mungkin penduduk di tempat ini bukan pendukung pemimpin berkuasa saat Pilkada lalu”. Sehingga tidak terperhatikan. Bahkan adat budayanya pun masih asri sesuai dengan peradaban leluhurnya, tidak terubahkan oleh kemajuan teknologi, dan moderenisasi, yang terlalu banyak aksi, walaupun agak sedikit bau terasi.

Sebahagian siswa lain berasal dari perkampungan agak modern yang terletak di seberang sungai, sekitar tiga kilo empat ons jaraknya. Mereka harus menyeberangi sunga berbau-batu besar itu setiap hari. Baik saat datang ke sekolah maupun pulang dari sekolah. Tanpa jembatan, tanpa rakit atau perahu. Mereka menyeberangi sungai hanya dengan melompat dari batu ke batu, makanya tidak aneh kalau terdapat perbedaan mencolok bagi siswa-siswa yang berasal dari pemukiman di sebarang sungai itu. Betis mereka lumayan besar-besar menyerupai umbi talas Bogor yang banyak dipampang di sepanjang jalan sekitar Bogor. Semua itu karena mereka terbiasa berolahraga setiap hari melompati batu-batu di sungai itu.

Gurunya ada tiga orang, Pak Daman, Bu Dimin, dan Pak Durohim yang merangkap kepala sekolah. Mereka putra pribumi dari kampung kumuh yang masih asri itu, karena nasib baiknya mereka bisa sekolah dari SD sampai SMP di kota dan sangat kebetulan hanya mereka bertiga yang sekolah sampai SMP, kemudian karena keterbatasan biaya kembali ke kampung, lalu mendirikan sekolah SD ini.Mereka hanya lah Guru sukarelawan berdedikasi tinggi yang memiliki keinginan memperbaiki kampungnya melalui jalur pendidikan. Guru yang bercita-cita membuka wawasan saudara-saudaranya agar bisa terbang tinggi melintasi dunia dengan ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki. Tapi itu ternyata tidak mudah, sudah hampir enam tahun mendirikan sekolah ini, ketiga orang guru yang satu sama lain saling bersaudara ini belum melihat hasil nyata dari usaha kerasnya itu.

Huf…!! Jadi kebanyakan bercerita tentang latar belakang nih yah. Pembaca nanti marah-marah, “mana dialognya ?” gitu katanya. Tapi sebentar dulu. Saya mohon ijin untuk kembali menceritakan tentang Dodo, Didi, Dadang, Dudung, dan Diding, yang belakangan ini mulai resah gelisah tapi Alhamdulillah tidak basah. Meraka dirundung perasaan bingung, akan kemana melanjutkan sekolah setalah selesai tamat di SD ini.

“Kita ke Kota saja, Ding.!” Usul Dadang pada Diding disela obrolan mereka di bawah pohon kecapi, tepi sungai sambil menikmati hembusan angin yang sejuk, nakal mengusap-usap kulit pipi kelima anak kampung yang dekil dan kasar berdaki itu.

“Ya…. Di sekitar kampung kita kan tidak ada sekolah tingkat LSTP. Baiknya kita melanjutkan sekolah ke Kota saja.” Didi, mendukung Usul Dadang. “Seperti guru-guru kita dulu.” Lanjutnya.

“Limabelas kilo meter kawan jaraknya…? Bagaimana caranya setiap hari kita bisa ke sana…?” Ujar Diding dengan gaya seperti Om Rendra si Burung Merak membacakan puisi.

“Harus jam berapa kita berangkat dari rumah…?” Dodo menerawang jauh.

“Sebelum ayam berkokok lah.” Sela Dudung.

“Tapi aku sudah tidak punya ayam jago lagi, ayamku dijual.” Keluh Dadang yang memang sering tidak nyambung omongannya.

“Ah… kamu Dang. Soal ayam dijual kok dibawa-bawa ke obrolan soal melanjutkan sekolah sih.” Tepis Diding. “ Maksud si Dudung, kita harus berangkat sekolah ke Kota itu dari sejak pagi sekali, supaya tidak terlambat.” Diding menjelaskan.

“Yaaaa… kalau begitu maksudnya, jangan bawa-bawa suara ayam berkokok, dong.” Bela Dadang. “Aku kan sudah tidak punya ayam lagi.” Lanjutnya, masih tidak nyambung.

“Itu kan hanya perumpamaan, Dang..!” Kata Dodo. “Yang pasti, karena kita murid pertama di sekolah ini, kita harus memberi contoh pada adik-adik kita. Kita harus melanjutkan sekolah, walau bagaimanapun resikonya.” Lanjut Dodo bersemangat.
“Setujua…!!” Dukung Didi. “Dan kita harus jadi orang-orang pertama dari kampung kita setelah tiga orang guru kita yang bisa sekolah ke kota.” Didi melanjutkan kalimat bertendensi sebagai pemicu motivasi itu.

“Tapi bagaiman caranya…?” Dadang memotong.

“Ya, kita berusaha dong mencari cara.” Kata Diding.

“Ya, bagaimana caranya…?” Desak Dadang.

“Caranya… Tanya sama ayam kamu yang sudah dijual itu, Dang.” Sela Didi.

“O..iya…ya… ayahku menjual ayam itu kan sama orang kota. Jadi siapa tahu ayamku bisa kasih saran, bagaimana caranya kita bisa sekolah ke Kota.” Dadang sumbringah seperti menemukan ide yang cemerlang.

“Sekalian saja kamu ikut tinggal dengan ayam kamu itu, Dang di kota.” Canda Dodo.

“Gak bisa, Do. Kandangnya sempit katanya. Sudah begitu temannya banyak lagi. Bahkan ada ayam Bangkok sama ayam bekisarnya.” Keluh Dadang serius.

“Ini apa siah…? Kok malah membicarakan soal ayam?” Tepis Diding. “Kita kan sedang membicarakan rencana melanjutkan sekolah ke Kota. Bukan membahas soal ayam si Dadang yang sudah dijual itu.”

“Iya tuh si Didi. Lagi pula tidak mungkinlah saya bisa ikut tinggal sama ayam saya itu. Selama bersama keluarga kami saja sombongnya minta ampun. Kalau makan serakah. Nanti kalau saya ikut tinggal bersama dia, saya tidak kebagian makan.” Ujar Dadang semakin ngawur.

“Sudah ah, lihat tuh Bu Dimin sudah memanggil kita. Waktu istirahat sudah habis. Nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita ini.” Seru Dudung melerai debat yang mulai ngawur setelah melihat Bu Dimin dari arah jendela sekolah melambaikan tangannya ke arah mereka.

Merekapun beranjak dari tempatnya masing-masing, kemudian berlarian menuju ruang kelas enam, dimana Bu Dimin dan murid yang lain sudah berada di dalam.

“Baiklah anak-anak. Sebelum pelajaran selanjutnya ibu mulai. Ada beberapa hal yang harus ibu sampaikan.” Kata Bu Dimin sambil berdiri di depan kelas. “Kalian mau dengar penjelasan dari ibu, kan…?” Tanya Bu Dimin kemudian.

“Mau..buuuuuu” Seru semua siswa serempak.

“Kami dewan guru dan Bapak kepala sekolah tadi baru saja berdiskusi guna membicarakan nasib kalian, kelas VI. Karena kita sekolah mandiri yang belum mempunyai surat ijin resmi dari kantor Dinas, maka kita tidak dapat menyelenggarakan ujian di sekolah ini. Itulah aturan di Negeri Antah Berantah ini.” Jelas Bu Dimin dengan suara sedikit tersendat-sendat. Sepertinya ada beban berat yang menggangu pikiranya.

Seketika wajah semua siswa kelas VI meredup seperti bolamp yang diputus aliran lisrinya karena kehabisan fulsa mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan Bu Dimin itu. Teruma lima orang sahabat yang baru saja membahas cita-cita mulianya untuk melanjutkan sekolah.

“ Terus nasib kami bagaimana, bu…?” Tanya Didi yang mulai dilanda perasaan khawatir tidak bisa melanjutkan sekolah.

“ Karena kita masih ada waktu lima bulan ke depan. Kami akan mengushakan jalan lain, bagaimana caranya kalian tetap bisa ujian.” Ujar Bu Diman, walau tersirat sebuah keraguan dan kekhawatiran dari balik nada bicaranya.

“Ahamdulillah…” Gumam semua murid serempak seperti dikomando.

“Yang jelas, ibu harap kalian sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nanti. Banyak mempelajari materi-materi pelajaran yang sudah kalian dapatkan sejak kelas IV, V dan VI. Perbanyaklah membaca buku yang kalian punya.” Lagi-lagi Bu Dimin agak berat mengucapkan kata-kata itu. Karena ia tahu benar materi pelajaran murid-muridnya sangat terbatas. Mereka tidak mempunyai buku paket yang memadai. Bu Dimin dan guru-guru yang lain hanya memamfaatkan buku-buku usang terbitan tahun jabot pemberian teman-temannya dari kota yang secara isi sudah sangat ketinggalan oleh perkembangan jaman saat ini.

Itu pula yang kemudian menjadi bahan diskusi panjang dengan guru-guru lain. Bagaimana caranya sekolah rintisan suwadaya masyarakat yang sangat terisolir ini bisa menyamai pengetahuan siswa-siswa lain di sekolah yang lebih baik. Bagaiaman mungkin anak-anak yang hanya belajar dengan buku sangat seadanya, dan kemampuan guru yang hanya lulusan SMP itu bisa menyamai murid-murid sekelasnya di sekolah lain.

Dan yang lebih membuat beban fikiran berat teramat sangat adalah nasib dari siswa-siswa kelas VI jika nantinya tidak bisa mengikuti Ujian Nasional karena faktor tidak adanya surat ijin resmi dari kantor Dinas Negeri Antah Berantah ini. Bukankah usahanya yang telah diperjuangkan sejak hampir enam tahun ini akan sia-sia.

Sampai waktu akhir pelajaran tiba, pembicaraan Bu Dimin terus berisikan pendorong semangat siswa-siswanya untuk terus belajar dan belajar. Dia berjanji akan semaksimalal mungkin memperjuangkan kelas VI pertama ini dapat ikut Ujian Nasional walau bagaimana pun caranya. Semoga pembaca pun itu membatu berdo’a dan mencarikan jalan, bagaimana caranya dengan kesulitan materi pelajaran, buku sumber, dan guru yang berkemampuan minim ini bisa mengikuti ujian. Kasihan nasib mereka kan…? Enam tahun belajar tidak diakhiri dengan mendapatkan selembar ijazah. Padahal banyak dari negeri tetangga yang sekolahnya Cuma satu dua bulan, kemudian sudah bisa mempunyai ijazah. Bahkan masih di negeri tetangga Antah Beranta itu pula ada orang yang tidak kuliah, tahu-tahu sudah dapat ijazah sarjana. Sangat memaluka.

(Sudah dulu yah cerita BAGIAN I-nya. Cerita ini mudah-mudahan bisa berlanjut ke BAGIAN II. Makanya tolong kasih komentar, usulan dan sarannya. Supaya saya (penulis) bisa kebali melanjutkan cerita ini)

Wednesday 8 February 2012

PERJALANAN YANG MELELAHKAN

Selasa, 07 Februari 2012
Cuaca lumayan cerah. Ada dua ageda penting hari ini. Mengikuti rapat pembentukan panitia lomba PORSENI tingkat POOL Utara di SDN Tamansari 02 dan ke ntor UPTK antar berkas persyaratan sertifikasi. Dua kegiata itu membuat aku binggung. Duan-duanya penting. Di Pool utara biasanya setiap ada lomba seperti ini aku pasti jadi panitia inti. Bahkan setumpuk tugas harus aku hadapi semisal pembuatan proposal kegiatan, penyusunan soal, dan lain-lain. Tapi karena sertifikasi juga lebih penting aku cenderung tidak terlalu ikut aktif dalam kepanitiaan tahun ini, walau di tingkat kecamatan aku sudah ditetapkan menjadi kopel Gambar ke tingkat Kabupaten Bogor.

Pukul delapan jadwal rapat yang direncanakan, pukul Sembilan baru dimulai. Kedisiplinan guru-guru di Pool Utara bahkan di Kecamatan Rumpin, sungguh sangat di bawah standar. Jam karet jadi almamater kesehatian, baik dalam melaksanakan tugas di sekolah, maupun dalam acara-acara rapat atau pertemuan seperti hari ini.

Pukul sepuluh limabelas menit, aku dan beberapa guru yang akan mengumpulkan berkas sertifikasi sudah pamitan untuk meninggalkan rapat. Dalam rapat itu aku jadi kopel lomba siswa berprestasi, dan aku fikir tidak apa lah, tidak terlalu menganggu kesibukanku saat ini.
Aku, Dedi, Maslahah, Supriyati dan Badrudin meluncur di bawah terik matahari di jalan berdebu dan penuh tonjolan-tonjolan batu gunung yang tajam. Melaju menuju kantr UPTK diantara truk-tru besar pengangkut batu gunung, pasir dan material gunung lainnya.

Gila…. Truk-truk besar itu seperti jadi raja di jalanan. Mereka seenaknya berada di sebelah kanan atau sebelah kiri menghindari jalanan yang rusak. Bukan hanya satu mobil, bisa dari lima buah mobil beriringan menghalangi jalan kendaraan kecil, seperti motor yang aku kendarai. Belum lagi dari lajunya yang sesukanya itu menimbulkan debu yang bisa mengganggu mata jika tidak pakai helm berkaca. Terlalu ugal-ugalan truk di jalan menuju Rumpin ini.

Sampai kantor aku dan teman-teman segera mempereskan semua berkas di map plastic merah yang sudah disiapkan bu Supri. Pukul satu baru kelar. Ikut solat di musholah UPTK, baru pulang bersama Pak Badru. Kami mampir di rumah makan sederhana di Cibeureum dekat Balai Desa Sukasari. Lumayan, walau tempatnya sangat sederhana, tapi makannya lumayan cocok dengan lidahku.

Sampai rumah pukul 14.00. Hari ini cukup membuat sekujur badan pegal-pegal.
Malamnya aku belajar membuat akun twitter. Karena entah kenapa blog-ku mala mini sama sekali tidak bisa dibuka.

Tuesday 7 February 2012

HARI YANG MELELAHKAN

Senin, 6 Februari 2012
Malu juga datang keduluan Kepala Sekolah. Beliau sudah sibuk di halaman sekolah mengatur anak-anak untuk opsih (Operasi Bersih) di halaman sekolah yang lebarnya sekitar 500 meter persegi. Sebuah halaman yang luas namun tidak karuan penataannya. Kalau kemarau berdebu (pasir halus) karena laburannya sudah terkelupas, biasanya anak-anak suka menendang-nendang debu itu dengan sengaja agar debunya berterbangan, bahkan anak yang nakal malah mengambilnya dengan cengkraman jemari mungilnya dan melemparkannya ke udara, sehingga membentuk badai debu.

Dan yang paling sulit difahami daya fikir anak-anak di sekolahku, walau pun sudah susah payah melaksanakan operasi bersih, sesaat kemudian, ketika mereka jajan, maka sampahnya akan dilempar kembali ke halaman yang dibersihkannya itu. Aku sering menyebut mereka sebagai si Kabayan. Tokoh cerita sunda yang lugu, konyol, kocak dan sering berbuat aneh seperti itu. Tapi mereka tetap saja melakukannya setiap hari, sehingga halaman yang luas, lengang, berdebu dan selalu saja dikotori sampah-sampah di sana-sini, dengan sengaja.

Setelah jabattangan dengan kepala sekolah, aku langsung masuk ke ruangan kantor. Banyak berkas yang harus segera aku stempel legalisir, sebab besok pagi sudah harus diserahkan ke Kantor UPT Kurikulum XVIII Kecamatan Rumpin. Berkas ini adalah lampiran A1 sertifikasi yang nantinya akan mengantarkan aku ke tahap tes kompetensi awal setifikasi. Ya Allah… ini peluang untuk diakui sebagai tenaga professional bidang pendidikan. Kalau lulus tes, maka kemudian aku harus mengikuti tahapan berikutnya, yaitu PLPG, semacam diklat kependidikan untuk mendapatkan gelar professional melalui sertifikasi guru.

Kesempatan emas ini harus aku perjuangkan walau banyak sekali liku-likunya. Merepotkan, dan membuat beberapa kali harus menyiapkan berkas dokumen lampiran menyangkut tugasku sebagai Pegawai Negeri. Tapi ini adalah sebagian dari upaya meningkatkan penghasilanku. Sebab kalau sudah mendafatkan tanda sertigfikat lulus sertifikasi guru, maka aku akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah sebesar gajih pokok, setiap bulannya. Semoga lancar. Amin.

Pagi ini akan dilaksakan upacara bendera hari senin. Selesai opsih anak-anak dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 berbaris di halaman. Para petugas upacara kali ini kelas 6. Rupanya mereka sudah siap melaksanakan tugas yang telah dilatihkan pada hari jumat dan sabtu kemarin.

Untuk mengawasi anak-anak yang biasanya nakal, atau ada yang sakit, aku berdiri di belakang siswa peserta upacara. Kalau melihat aku berdiri di belakang mereka, maka tidak aka nada anak yang ngobrol atau jongkok saat pelaksanaan upacara bendera. Anak-anak takut melihat aku. Aneh, padahal aku tidak pernah galak sama mereka. Bahkan sebaliknya, di sekolah aku dikenal paling suka humor, bercanda dan akrab dengan mereka. Tapi saat-saat tertentu, mereka merasa takut melakukan kenakalan-kenakalan di depanku.

Usai upacara, aku mendapatkan sms dari pak Herry, guru SDN Kertajaya 02. Isi smsnya, hari ini pukul 10 ada rapat khusus operatir sekolah. Kebetulan aku operator di sekolah ini. Berarti undangan itu memang sengaja ditujukan untuk aku. Operator sekolah adalah sitilah untuk julukkan guru-guru yang menangani administrasi sekolah menggunakan laptop, seperti pembuatan surat-surat tugas, SK, RAPBS, dan administrasi kedinasan lainnya. Ini hanya sebagai tugas tambahan yang dilaksanakan hanya sebagai rasa tanggung jawab, tanpa SK khusus dan tanpa gajih khusus. Walau kerjanya lumayan menyibukan, tapi bagiku banyak keuntungan dari tugas tambahan ini. Minimal aku bisa menggunakan Laptop kapanpun aku mau. Termasuk mengisi blog ini.

Pukul 09.30 aku meluncur ke Rumpin untuk mengikuti rapat khusus operator sekolah se-Kecamatan Rumpin. Sebenarnya aku enggan jika dapat tugas ke rumpin. Jalannya ancur, sebagaian berdebu, sebagian lagi becek dan banyak batu-batu tajam menonjol dibalik lumpur kental yang mengancam band pecah. Atau kalu kurang hati-hati mengakibatkan benturan keras dengan batu, bahkan mungkin terperosok ke dalam lubang yang dalam sehingga tak jarang banyak motor yang tergelincir dan jatuh.

Tempat rapatnya di Aula PGRI Kecamatan Rumpin. Sebuah gedung yang sudah tidak layak lagi disebut aula. Kumuh, kotor dan tak terurus, Tapi karena tidak memiliki tempat lain, maka PGRI Kecamatan Rumpin memanfaatkan gedung ini sebagai aula dan pusat segala kegiatan rapat PGRI. Bahkan Koperasi PNS Guru-guru Rumpin juga menggunkan gedung ini untuk pusat kegiatan pertemuan-pertemuannya.

Rapat dipimpin staf UPTK bagian kepegawaian, Rahmat namanya, seorang tenaga honorer di kantor UPTK. Banyak informasi mengenai beberapa pengajuan dan usulan bagi tenaga sukwan serta pendataan guru PNS yang harus dikerjakan operator sekolah. Semua dijelaskan dengan penjelasan yang terkadang Rahmat sendiri tidak menguasai bahan materi penjelasan. Tapi dengan saling bertukar pendapat peserta rapat cukup faham dengan materi rapat hari ini.

Pukul, 12.00 rapat selesai. Aku pun langsung pulang. Perjalanan yang melelahkan, akhirnya berlalu. Dan aku bisa istirahat di rumah. Untuk mengobati penat, aku membeli satu kilo dukuh dan melon, biasanya setelah perjalananan yang melelahkan akan terobati dengan segarnya menyantap buah-buahan.

Monday 6 February 2012

HARI MINGGU YANG MENYIBUKKAN

Minggu, 05 Februari 2012
Beberapa hari tidak menulis di blog membuat aku merasa ada yang hilang dalam perjalanan hari-hariku. Aku harus terus konsisten menghidupkan blog yang baru kubuat ini. Meluangkan waktu untuk menulis segala sesuatu yang ingin dan harus aku tulis. Karena untuk mengembangkan kemampuan menulis hanya dapat dilakukan dengan berlatih menulis. Begitu menurut beberapa orang penulis yang sudah sukses dengan karya-karyanya.

Hari ini aku harus kesekolah, meski libur. Ada pekerjaan yang masih tertunda dan perlu aku selesaikan. Kemarin (Sabtu 04, Februari 2012) aku juga ke sekolah lagi setelah pulang untuk mengantar istri ke pasar belanja bulanan. Kalau kemarin, aku menyelesaikan program semester pesanan SDN Kertajaya 06. Tapi sungguh mengecewakan, setelah berlelah-lelah mengerjakan, dan termpaksa menggunakan kertas milik sekolahku dulu, eh sampai sore bahkan malam, janjinya akan diambil, ternyata tidak diambil juga.

Tadi pagi Kepala Sekolah SDN Kertajaya 06 telepon aku, katanya hari Minggu sore ini akan diambil program semesternya. Semoga saja benar. Tapi aku memang agak ragu dengan janji bapak kepala sekolah ini. Janjinya sering diingkari, terutama kalau sudah menyangkut soal uang. Padahal untuk mengerjakan program semester aku butuh modal. Belum lagi waktu dan tenaga. Bayangkan, dari jam 11.00 sampai jam 17.00, pekerjaan baru selesai. Kalau akhirnya program ini tidak dibayar, sungguh sangat merugikan.

Pekerjaan hari ini adalah menyelesaikan Daftar Personal dan Murid yang tinggal sedikit lagi. Pukul delapan pagi aku ke sekolah. Rencananya sampai jam sebelas saja mengerjakannya. Batasnya kalau istriku jadi berobat, karena ia sudah tiga hari ini sakit flu, demam dan batuk-batuk, maka aku akan pulang lebih cepat.

Pukul 10.30. Aan dan Pak Rabani mampir ikut prins administrasi untuk pengajuan sertifikasi dan fungsional di MTs Nurul Huda. Pekerjaanku sudah hamper rampung saat mereka datang. Nge-prin gentian dengan Aan, ia pakai notebook pak Rabani dan aku pakai laptop sekolah yang siang malam menemani aku di rumah maupun di sekolah.

Pukul 11.30. Aan dan Pak Rabani berangkat ke MTs Nurul huda untuk tandatangan administrasi yang baru selesai di prins. Dan aku pun siap-siap pulang, karena pekerjaanku sudah selesai.

Karena rencananya Aan dan Pak Rabani akan kembali lagi ke sekolah, maka kunci pintu kantor sekolah aku titip di warung Ceu Een, adik iparnya Pak Adin. Sebelum ada penjaga sekolah, kunci memang selalu dititip di situ. Soalnya anaknya Novi, anak Pak Adin juga mengajar di sekolah Kertajaya 04, dan lokasi rumahnya paling dekat dengan sekolah.

Sampai rumah, anak-anakku sedang menyantap bakso. Fakih sudah sehatan hari ini. Dia memang suka sekali bakso. Untuk mengembalikan nafsu makannya, kemarin sudah aku belikan daging dan ati sapi. Fakih juga suka sekali rending. Kalau dia sudah kembali nafsu makan berarti kesehatannya akan pulih lagi.

Eh ya… bakso hari ini ternyata dibeilakan oleh memantuku (Wijaya), suami dari Aan. Tapi aku tidak selera untuk memakannya, entah kenapa segala urusan dengan menantuku itu hatiku kurang sreg. Aku tidak menyukai kepribadiannya. Termasuk soal bakso. Makanya lebih baik aku makan saja dengan rendang daging dan ati yang dimasak istriku. Nikmat sekali makanku, sayangnya aku harus segera shalat dhuhur dan siap berangkat ke pasar untuk photo copy berkas persiapan A1 sertifikasi guru. Eh… ternyata Ii dan Nuni yang sejak kemarin merencanakan merancang tropong bintang yang ada di sekolah, akan dikerjakan hari ini. Teropong bintang itu sudah hamper satu tahun tersia-siakan. Tidak ada satu orangpun guru guru termasuk aku, yang mampu merancangnya. Dan Ii akan mencobanya.

Pukul 13.30 aku membonceng Ii dan Nuni ke sekolah.Sampai di sekolah Aan masih ada, dia mau ke Parung katanya menandatangani berkas ke pengawas. Di sekolah aku Cuma menyimpan laptop, langsung berangkat lagi. Cuaca sudah mendung. Tapi berkas ini harus segera di photo copy sebab besok harus dilegalisir kepala sekolah.

Sampai pasar Parungpanjang, aku mampir dulu ke Alfa Mart, beli susu Dancow coklat bubuk, parfum dan obat batuk untuk istriku. Setelah selesai baru ke tempat photo copy. Usai photo copy, saat baru saja akan ke luar took, hujan deras turun. Coba mampir dulu di tukang kue. Rencananya mau beli kue untuk Ii dan Nuni, tapi ah… harganya mahal sekali. Harga yang jauh dari jangkauan saku.

Setelah reda aku berangat pulang, tapi sebenatar mampir ke tukang burung, aku harus beli kredong kandang burung Kenari yang kemarin sudah diincar tikus nakal. Kandang bagian atasnya dibobol hingga bolong besar. Pagi tadi kutambal dengan jeruji-jeruji bamboo dari kandang yang sengaja kurusak. Duh untung burungnya tidak lepas. Padahal lubang itu pasti sudah menganga dua atau bahkan tiga hari yang lalu. Aku tidak mengontrolnya, baru pagi tadi tampak kelihatan lubang-lubang itu. Mungkin kalau pakai kredong, tikus tidak bisa masuk lagi.

Di Adang kredong tidak ada, akhirnya aku dapatkan denga harga Rp 18.000. di tukang burung dekat tukang cukur di sekitar tugu, dekat tadi aku photo copy berkas. Padahal kalau tahu ada di situ, aku tidak perlu jauh-jauh ke Adang segala. Kan lumayan tiga sampai empat ratus meter bolak-balik menembus becek dan gerimis.

Di tengah perjalanan aku membeli goreng tahu dan molen. Kasihan Ii dan Nuni kalau sama sekali tidak diberi cemilan. Tapi Nuni masih batuk hari ini, moga saja gorengan yang aku beli tidak membuat batuknya semakin menjadi parah.

Sampai sekolah rancangan teropong sudah selesai, tinggal mengatur lensa dan kembali membaca manual yang berbahasa Inggris itu. Sambil menunggu pengeturan lensa aku kembali prins program semester untuk Aan. Kelas 6 kan ada 2 rombel A dan B. Aku kelas A dan anakku Aan kelas B. Sementara program semesternya baru punyaku saja yang selesai.

Kami pulang sekitar pukul empat sore. Jalanan becek karena hujan ternyata merata sampai ke kampung tempat tinggalku. Hujannya pun deras. Aku menyempatkan nonton ISL babak dua Mitra Kukar lawan Persema. Skor 2-2 sampai peluit panjang dibunyikan. Dan aku pun istirahat untuk mempersiapkan shalat magrib. Sungguh hari hari Minggu yang sangat menyibukkan.