NAVIGASI

Wednesday 22 February 2012

(CERITA HUMOR) LASKAR LIMA “D” DALAM MENEMBUS BATAS

BAGIAN I

Alkisah, pasti beda dengan alpukat. Apalagi dengan Almanak. Kalau tidak percaya, Tanya saja toko sebalah, pasti juga tidak punya jawabannya, karena yang tahu jawabannya cuman “rumput yang begoyang” itu pun baru menurut lagu Bang Iwan Fals. Cerita yang terjadi di negeri Antah Berantah, tetangganya negeri Antah Dimana, yang berdekatan dengan negeri Antah lah aku tidak tahu ini adalah kisah nyata. Itu pun kalau pembaca percaya, sebab penulis sekali pun sama sekali tidak percaya. Sumpah berani kaya seumur hidup, penulis sama sekali tidak percaya kalau cerita ini kisah nyata.

Adalah Dodo, Didi, Dadang, Dudung, dan Diding merupakan lima sekawan yang berjulu Laskar lima D. Mereka bagai seikat kangkung yang tak terpisahkan, ibarat konde rambut yang terpadukan dan seperti segumpal awan yang tak teruraikan. Bersekolah di SD Lidah Bergoyang. Sebuah sekolah berdinding papan kayu dan beratap rumbia yang Alhamdulillah sudah hampir enam tahun sejak didirikan belum pernah diperbaiki. Bangunannya hanya ada satu lokal. Tiga kelas belajar, satu ruang guru, tidak ada ruang kantor kepala sekolah, dan tidak terdapat WC siswa maupun guru. Muridnya saja hanya ada 30 orang, terdiri dari enam kelas. Rata-rata per kelasnya 30 orang dibagi 6 hasilnya hitung sendiri yah.

Sekolah ini memang hampir saja ditutup oleh pemerintah desa setempat. Selaian karena muridnya hanya sedikit, juga letaknya yang sangat menghawatirkan. Lokasinya di pinggir sebelah kiri sungai lebar berbatu-batu besar, tapi berair bening. Aliran airnya agak deras. Derai laju airnya yang menyentuh batu-batu besar seperti menimbulkan bunyi irama lagu kantri yang mendayu-dayu. Bahkan terkadang bisa juga mengeluarkan lagu hip-hop, dangdut, nasyid, atau rok, tergantung aliran mana yang sedang naik daun. Malah belakangan ini cenderung mengalunkan lagu-lagu para Boy Band ternama dari Negara tetangga.

Di sisi kanan sekolah terdapat hamparan tanah lapang yang berilalang dan rumput-rumput panjang yang menghalngi pandang, tempat kambing dan kerbau berncengkrama saling mendikusikan nasibnya masing-masing. Tempat sapi-sapi gemuk yang saling berbagi tip-tip terbaik demi membahagiakan tuanya. Dan tempat anak-anak yang terkadang terpaksa harus terkena ranjau kotoran sapi dan kerbau saat berangkat ke sekolah.

Tidak ada terdapat jalan raya di dekat sekolah. Hanya jalan setapak tanah merah yang menghubungkan sekolah ini ke pemukiman kampung kumuh tempat tinggal sebagian besar murid di sekolah ini. Sebuah perkampungan terisolir yang tidak pernah tersentuh pembangunan pasilitas umum dari pemerintah negeri Antah Berntah yang masih sangat mentah, bergetah dan sering membuat muntah-muntah. “Mungkin penduduk di tempat ini bukan pendukung pemimpin berkuasa saat Pilkada lalu”. Sehingga tidak terperhatikan. Bahkan adat budayanya pun masih asri sesuai dengan peradaban leluhurnya, tidak terubahkan oleh kemajuan teknologi, dan moderenisasi, yang terlalu banyak aksi, walaupun agak sedikit bau terasi.

Sebahagian siswa lain berasal dari perkampungan agak modern yang terletak di seberang sungai, sekitar tiga kilo empat ons jaraknya. Mereka harus menyeberangi sunga berbau-batu besar itu setiap hari. Baik saat datang ke sekolah maupun pulang dari sekolah. Tanpa jembatan, tanpa rakit atau perahu. Mereka menyeberangi sungai hanya dengan melompat dari batu ke batu, makanya tidak aneh kalau terdapat perbedaan mencolok bagi siswa-siswa yang berasal dari pemukiman di sebarang sungai itu. Betis mereka lumayan besar-besar menyerupai umbi talas Bogor yang banyak dipampang di sepanjang jalan sekitar Bogor. Semua itu karena mereka terbiasa berolahraga setiap hari melompati batu-batu di sungai itu.

Gurunya ada tiga orang, Pak Daman, Bu Dimin, dan Pak Durohim yang merangkap kepala sekolah. Mereka putra pribumi dari kampung kumuh yang masih asri itu, karena nasib baiknya mereka bisa sekolah dari SD sampai SMP di kota dan sangat kebetulan hanya mereka bertiga yang sekolah sampai SMP, kemudian karena keterbatasan biaya kembali ke kampung, lalu mendirikan sekolah SD ini.Mereka hanya lah Guru sukarelawan berdedikasi tinggi yang memiliki keinginan memperbaiki kampungnya melalui jalur pendidikan. Guru yang bercita-cita membuka wawasan saudara-saudaranya agar bisa terbang tinggi melintasi dunia dengan ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki. Tapi itu ternyata tidak mudah, sudah hampir enam tahun mendirikan sekolah ini, ketiga orang guru yang satu sama lain saling bersaudara ini belum melihat hasil nyata dari usaha kerasnya itu.

Huf…!! Jadi kebanyakan bercerita tentang latar belakang nih yah. Pembaca nanti marah-marah, “mana dialognya ?” gitu katanya. Tapi sebentar dulu. Saya mohon ijin untuk kembali menceritakan tentang Dodo, Didi, Dadang, Dudung, dan Diding, yang belakangan ini mulai resah gelisah tapi Alhamdulillah tidak basah. Meraka dirundung perasaan bingung, akan kemana melanjutkan sekolah setalah selesai tamat di SD ini.

“Kita ke Kota saja, Ding.!” Usul Dadang pada Diding disela obrolan mereka di bawah pohon kecapi, tepi sungai sambil menikmati hembusan angin yang sejuk, nakal mengusap-usap kulit pipi kelima anak kampung yang dekil dan kasar berdaki itu.

“Ya…. Di sekitar kampung kita kan tidak ada sekolah tingkat LSTP. Baiknya kita melanjutkan sekolah ke Kota saja.” Didi, mendukung Usul Dadang. “Seperti guru-guru kita dulu.” Lanjutnya.

“Limabelas kilo meter kawan jaraknya…? Bagaimana caranya setiap hari kita bisa ke sana…?” Ujar Diding dengan gaya seperti Om Rendra si Burung Merak membacakan puisi.

“Harus jam berapa kita berangkat dari rumah…?” Dodo menerawang jauh.

“Sebelum ayam berkokok lah.” Sela Dudung.

“Tapi aku sudah tidak punya ayam jago lagi, ayamku dijual.” Keluh Dadang yang memang sering tidak nyambung omongannya.

“Ah… kamu Dang. Soal ayam dijual kok dibawa-bawa ke obrolan soal melanjutkan sekolah sih.” Tepis Diding. “ Maksud si Dudung, kita harus berangkat sekolah ke Kota itu dari sejak pagi sekali, supaya tidak terlambat.” Diding menjelaskan.

“Yaaaa… kalau begitu maksudnya, jangan bawa-bawa suara ayam berkokok, dong.” Bela Dadang. “Aku kan sudah tidak punya ayam lagi.” Lanjutnya, masih tidak nyambung.

“Itu kan hanya perumpamaan, Dang..!” Kata Dodo. “Yang pasti, karena kita murid pertama di sekolah ini, kita harus memberi contoh pada adik-adik kita. Kita harus melanjutkan sekolah, walau bagaimanapun resikonya.” Lanjut Dodo bersemangat.
“Setujua…!!” Dukung Didi. “Dan kita harus jadi orang-orang pertama dari kampung kita setelah tiga orang guru kita yang bisa sekolah ke kota.” Didi melanjutkan kalimat bertendensi sebagai pemicu motivasi itu.

“Tapi bagaiman caranya…?” Dadang memotong.

“Ya, kita berusaha dong mencari cara.” Kata Diding.

“Ya, bagaimana caranya…?” Desak Dadang.

“Caranya… Tanya sama ayam kamu yang sudah dijual itu, Dang.” Sela Didi.

“O..iya…ya… ayahku menjual ayam itu kan sama orang kota. Jadi siapa tahu ayamku bisa kasih saran, bagaimana caranya kita bisa sekolah ke Kota.” Dadang sumbringah seperti menemukan ide yang cemerlang.

“Sekalian saja kamu ikut tinggal dengan ayam kamu itu, Dang di kota.” Canda Dodo.

“Gak bisa, Do. Kandangnya sempit katanya. Sudah begitu temannya banyak lagi. Bahkan ada ayam Bangkok sama ayam bekisarnya.” Keluh Dadang serius.

“Ini apa siah…? Kok malah membicarakan soal ayam?” Tepis Diding. “Kita kan sedang membicarakan rencana melanjutkan sekolah ke Kota. Bukan membahas soal ayam si Dadang yang sudah dijual itu.”

“Iya tuh si Didi. Lagi pula tidak mungkinlah saya bisa ikut tinggal sama ayam saya itu. Selama bersama keluarga kami saja sombongnya minta ampun. Kalau makan serakah. Nanti kalau saya ikut tinggal bersama dia, saya tidak kebagian makan.” Ujar Dadang semakin ngawur.

“Sudah ah, lihat tuh Bu Dimin sudah memanggil kita. Waktu istirahat sudah habis. Nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita ini.” Seru Dudung melerai debat yang mulai ngawur setelah melihat Bu Dimin dari arah jendela sekolah melambaikan tangannya ke arah mereka.

Merekapun beranjak dari tempatnya masing-masing, kemudian berlarian menuju ruang kelas enam, dimana Bu Dimin dan murid yang lain sudah berada di dalam.

“Baiklah anak-anak. Sebelum pelajaran selanjutnya ibu mulai. Ada beberapa hal yang harus ibu sampaikan.” Kata Bu Dimin sambil berdiri di depan kelas. “Kalian mau dengar penjelasan dari ibu, kan…?” Tanya Bu Dimin kemudian.

“Mau..buuuuuu” Seru semua siswa serempak.

“Kami dewan guru dan Bapak kepala sekolah tadi baru saja berdiskusi guna membicarakan nasib kalian, kelas VI. Karena kita sekolah mandiri yang belum mempunyai surat ijin resmi dari kantor Dinas, maka kita tidak dapat menyelenggarakan ujian di sekolah ini. Itulah aturan di Negeri Antah Berantah ini.” Jelas Bu Dimin dengan suara sedikit tersendat-sendat. Sepertinya ada beban berat yang menggangu pikiranya.

Seketika wajah semua siswa kelas VI meredup seperti bolamp yang diputus aliran lisrinya karena kehabisan fulsa mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan Bu Dimin itu. Teruma lima orang sahabat yang baru saja membahas cita-cita mulianya untuk melanjutkan sekolah.

“ Terus nasib kami bagaimana, bu…?” Tanya Didi yang mulai dilanda perasaan khawatir tidak bisa melanjutkan sekolah.

“ Karena kita masih ada waktu lima bulan ke depan. Kami akan mengushakan jalan lain, bagaimana caranya kalian tetap bisa ujian.” Ujar Bu Diman, walau tersirat sebuah keraguan dan kekhawatiran dari balik nada bicaranya.

“Ahamdulillah…” Gumam semua murid serempak seperti dikomando.

“Yang jelas, ibu harap kalian sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nanti. Banyak mempelajari materi-materi pelajaran yang sudah kalian dapatkan sejak kelas IV, V dan VI. Perbanyaklah membaca buku yang kalian punya.” Lagi-lagi Bu Dimin agak berat mengucapkan kata-kata itu. Karena ia tahu benar materi pelajaran murid-muridnya sangat terbatas. Mereka tidak mempunyai buku paket yang memadai. Bu Dimin dan guru-guru yang lain hanya memamfaatkan buku-buku usang terbitan tahun jabot pemberian teman-temannya dari kota yang secara isi sudah sangat ketinggalan oleh perkembangan jaman saat ini.

Itu pula yang kemudian menjadi bahan diskusi panjang dengan guru-guru lain. Bagaimana caranya sekolah rintisan suwadaya masyarakat yang sangat terisolir ini bisa menyamai pengetahuan siswa-siswa lain di sekolah yang lebih baik. Bagaiaman mungkin anak-anak yang hanya belajar dengan buku sangat seadanya, dan kemampuan guru yang hanya lulusan SMP itu bisa menyamai murid-murid sekelasnya di sekolah lain.

Dan yang lebih membuat beban fikiran berat teramat sangat adalah nasib dari siswa-siswa kelas VI jika nantinya tidak bisa mengikuti Ujian Nasional karena faktor tidak adanya surat ijin resmi dari kantor Dinas Negeri Antah Berantah ini. Bukankah usahanya yang telah diperjuangkan sejak hampir enam tahun ini akan sia-sia.

Sampai waktu akhir pelajaran tiba, pembicaraan Bu Dimin terus berisikan pendorong semangat siswa-siswanya untuk terus belajar dan belajar. Dia berjanji akan semaksimalal mungkin memperjuangkan kelas VI pertama ini dapat ikut Ujian Nasional walau bagaimana pun caranya. Semoga pembaca pun itu membatu berdo’a dan mencarikan jalan, bagaimana caranya dengan kesulitan materi pelajaran, buku sumber, dan guru yang berkemampuan minim ini bisa mengikuti ujian. Kasihan nasib mereka kan…? Enam tahun belajar tidak diakhiri dengan mendapatkan selembar ijazah. Padahal banyak dari negeri tetangga yang sekolahnya Cuma satu dua bulan, kemudian sudah bisa mempunyai ijazah. Bahkan masih di negeri tetangga Antah Beranta itu pula ada orang yang tidak kuliah, tahu-tahu sudah dapat ijazah sarjana. Sangat memaluka.

(Sudah dulu yah cerita BAGIAN I-nya. Cerita ini mudah-mudahan bisa berlanjut ke BAGIAN II. Makanya tolong kasih komentar, usulan dan sarannya. Supaya saya (penulis) bisa kebali melanjutkan cerita ini)