NAVIGASI

Tuesday 27 March 2012

Bensin…Oh…Bensin

Bangun pagi, mandi, gasok gigi, ganti seragam kerja, tinggal pakai sepatu saja, beres deh. Tapi tiba-tiba perut keroncongan, lupa belum sarapan. Mana semalam pulang kemalaman habis dari rumah teman cari bahan mengajar untuk hari ini, jadi tidak sempat makan malam, langsung tidur. Pantas kalau sepagi ini perih melanda sekitar lambung dengan begitu dahsyatnya. Perlahan, keringat dingin mulai mengganggu rasa. Kepala sedikit pening, merespon lapar dari perut.

Buka lemari makan, tinggal ada nasi dingin seperempat sangku mungil, sisa kemarin sore, tanpa lauk apa lagi sayur. Di tempat bumbu cuma ada bawang merah, bawang putih, dan cabai merah yang sudah lecek-lecek dan sedikit peot karena sudah hampir tiga hari tidak belanja. Maklum sudah memasukki masa paceklik, akibat tanggal tua.

Kuambil dompet dari atas meja kerja di kamar tidurku. Kubuka, hanya tinggal satu lembar lima ribuan dan tiga lembar ribuan kumel sisa mengirim untuk belanja istri dan anakku di kampung. Limaribunya harus aku sisihkan untuk bensin, ada jatah tiga ribu untuk beli sarapan. Nunggu Bik Inah tukang uduk yang keliling saban pagi ke kampung. Sampai pukul tujuh tepat, belum juga nampak batang hidungnya.

“Dadang…!! Sudah melihat Bik Inah lewat belum…?” teriakku pada anak tetangga yang juga langganan beli nasi uduk di pedagang keliling yang harganya masih sangat terjangkau itu.

“Belum Om. Katanya bik Inah tidak dagang, hari ini.” Sahut Dadang.

“Emang kenapa, Dang…? Sakit…?” Tanyaku penasaran.

“Tidak bisa belanja.” Jawab ibunya Dadang yang tiba-tiba muncul dari pintu rumahnya, sambil membawa satu baskom pelastik cucian baju yang masih basah. “Harga-harga sembako di pasar pagi ini sudah naik semua, katanya.” Tambah ibunya Dadang lagi.

Waktu semakin siang, perutku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Segera kulangkahkan kaki ke warung yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Semoga saja bisa membeli telur ayam negeri, minyak goreng dan kecap sasetan, buat menggoreng nasi. Moga saja uang tiga ribu bisa mencukupi semua itu. Moga saja perut tidak keburu ngamuk karena harus melewati proses panjang meracik resep nasi goreng alakadarnya.

“Ada telur, minyak goreng, dan kecap sasetan, bu.” Tanyaku pada tukang warung.

“Ada pak..! Berapa…?” Katanya sambil mengambil satu persatu barang-barang yang aku sebutkan tadi.

“Satu-satu saja. Berapa duit, bu..?” tanyaku sambil menyiapkan uang ribuan tiga lembar.

“Lima ribu rupiah, pak.” Jawabnya

“Loch…kok..!! mahal sekali bu…!” kataku terkejut.

“Di pasarnya sudah naik semua, pak.” Sahut tukang warung. “Alasannya karena sebentar lagi bensin akan naik.” Tambah si Ibu warung.

“Rencana naiknya kan nanti tanggal 1 April, bu. Sekarang baru tanggal 28 Maret, kok sudah pada naik begini.” Kataku setengah mendumal.

“Tahu tuh. Saya juga tidak faham, pak. Saya kan hanya pedang kecil, hanya bisa mengambil untung sedikit dari harga pembelian di pasar. Kalau harga di pasar naik, ya saya juga ikut naik.” Jelas Ibu warung. “Jadi beli tidak, pak..?” Tanya ibu warung karena melihat aku tidak segera membayar belanjaan itu.

Terpaksa, karena perasaan lapar yang begitu hebat melanda perutku, akhirnya uang untuk beli bensin aku pergunakan membayar bahan-bahan membuat nasi goreng. Tiga ribunya lagi aku simpan di dalam dompet untuk cadangan membeli bensin. Mudah-mudahan saja bensin dalam tangki motorku masih cukup sampai sekolah. Di sekolah nanti rencannya aku akan mencoba pinjam uang pada teman-teman, nanti saat gajihan bisa langsung dipotong.

Nasi goreng pun selesai aku masak. Rasanya lumayan enak untuk orang yang sedang menderita lapar amat sangat. Resep sederhana karena unsur keterpaksaan itu ternyata manjur juga untuk mengganjal perut.

Usai sarapan, kulirik jam dinding. Sudah pukul delapan kurang sepuluh menit. Sebagai seorang guru, seharusnya aku harus sudah sampai di sekolah pukul tujuh lewat limabelas menit. Ini hari terlambat datang ke sekolah yang kesekian kalinya akibat memenuhi desakkan lapar. Terutama pada tanggal-tanggal tua seperti ini.

Semua perlengkapan sudah ada di dalam tas kerja. Kukeluarkan motor tuaku dari dalam rumah bedeng kontrakkan. Sebentar kutambatkan di teras untuk aku pansakan mesinnya. Kututup dan kukunci pintu. Motor kuhidupkan, lima menit kemudian, motor pun melaju meninggalkan rumah kontrakanku. Kurang lebih seratus meter dari rumah, motor tiba-tiba mati. Kubuka tangki bensin, ternyata sudah kering. “Bensin…oh…bensin..”