Malam
tadi aku bermimpi bertemu dengan KARTINI, ia tiba-tiba mendatangi aku yang
sedang duduk menghadapi meja kerja, di depan laptop yang sedang menyala.
Wajahnya ayu Ajhari (Ayu sekali). Baju kebaya putih dan kain batik khas jepara
membungkus tubuhnya yang tinggi semampai. Melangkah melenggok dengan gaya
kewanitaan yang ketal sekali. Justru gaya berjalan yang seperti itu sekarang
jarang aku lihat di kalangan wanita-wanita modern yang konon sangat memuji
kiprah sang KARTINI.
1.
KARTINI : “Benda apa itu….?” (sambil
jarinya yang lentik menunjuk ke laptop)
2.
AKU
: “Ini laptop. Jamanmu, benda seperti ini pasti belum ada, kan..?”
3.
KARTINI : “Apa gunanya?”
4.
AKU
: “Banyak kegunaanya. Salah satunya, yah untuk menulis.”
5.
KARTINI : “O…. ini toch yang membuat
tulisan tangan orang-orang modern tidak sebagus tulisan tangan
orang-orang doeloe.”
6.
AKU
: (Terdiam, ingat tulisan tanganku yang mirip cakar ayam.) “Tapi
isi tulisannya lebih canggih dibanding isi tulisan jaman ibu kan ?”
7.
KARTINI : “Tidak juga tuh. Buktinya
tulisanku yang hanya sekedar kumpulan surat saja masih jadi kebanggaan bangsa
sebesar Indonesia. Iya toch..? Terus isi surat wanita jaman sekarang kemana
saja tuh…?”
8.
AKU
: “Wanita jaman sekarang tidak pernah menulis surat, mereka lebih
aktip menulis status di facebook dan tweet di dejejaring sosial yang sangat
mendunia.”
9.
KARTINI : “Dan isinya hanya sekedar
curahan hati tentang cinta, rindu, dan keluh kesah yang merendahkan kaum wanita
itu sendiri. Atau cuman ajang memsang wajah hasil jepretan kamera HP. Norak…”
10.
AKU
: “Kok ibu Kita Kartini ini faham juga soal facebook dan twitter…?
Punya akun facebook dan twitter juga yah…?”
11.
KARTINI : “Sebagai wanita pejuang
kesetaraan hak. Perlu juga dong mengikuti jaman, japi manfaatkan kemajuan jaman
itu dengan hal-hal yang bermanfaat.”
12.
AKU
: “Iya deh, sang pahlawan wanita yang selalu diperingati meriah setiap tahun
oleh para wanita di negara Indonesia.”
13.
KARTINI : “Apa kamu piker aku bangga
diperingati seperti itu…?”
14.
AKU
: “Memangnya Ibu tidak suka yah diperingati seperti itu…?”
15.
KARTINI : “Itu seremonial yang
menurut saya kurang paham akan esensi perjuangan saya.”
16.
AKU
: “Maksud Ibu…?”
17.
KARTINI : “Mereka hanya sibuk
memakai kebaya saat memperingati hari Kartini saja. Sementara aku setiap hari
harus pakai kebaya.”
18.
AKU
: “Oohhh…”
19.
KARTINI : “Cara berpakaian kabayanya
pun seenake dewe, berantakan tidak karuan. Itu pun boleh nyewa di salon dengan
harga yang termurah. Seharusnyakalau bangga akan perjuangan saya, mereka harus
mempunyai kebayaala Kartini dong di rumahnya.”
20.
AKU
: (Hanya manggut-manggut sambil tersenyum kecil mengingat
peringatanhari Kartini kemarin pagi) “Tapi ibu bangga kan melihat kaum wanita
sekarang..?”
21.
KARTINI : “Nda juga tuh.”
22.
AKU
: “Kenapa…?”
23.
KARTINI : “Masih banyak kaum wanita
yang kebablasan.”
24.
AKU
: “Kebablasan bagaiamana…?
25.
KARTINI : “Perjuanganku kan ingin agar wanita dihargai
keberadaannya oleh Kaum pria, dapat menentukan nasib, mempunyai kesempatan
bersekolah, dan ide pendapatnya bisa diterima secara sama seperti kaum pria.”
26.
AKU
: “Sekarang menurt ibu sudah tercapai kan…?”
27.
KARTINI : “Kebablasan..!!” (Diam Sebentar) “ Sekarang
kesannya wanita ingin menyamai segala-galanya dengan kaum pria. Mereka bersaing
agar dipersamakan segala-galanya dengan kaum pria.”
28.
AKU
: “Tapi memang itu kan esensi perjuangan ibu…?”
29.
KARTINI : “Bukan…!! Sama sekali
bukan..!!”
30.
AKU
: “Terus apa dong esensi perjuangan ibu sebenarnya…?”
31.
KARTINI : “Wanita tetap menjadi wanita secara kodrat
dan tanggung jawabnya. Ia tidak boleh berubah menjadi laki-laki. Tidak boleh
menjadi imam bagi laki-laki. Saya hanya menginginkan agar wanita tidak lagi
dipaksa kawin dengan lelaki bukan pilihannya. Mendabakan adanya kesempatan
wanita untuk berwawasan luas. Menginginkan adanya keleluasaan wanita itukut
andil dalam menentukan nasib dirinya sendiri, keluarganya, bangsa dan
negaranya. Tapi harus tetap sadar akan kodrat kewanitaanya.”
32.
AKU
: “Saya kurang pahambu. Dan saya yakin wanita Indonesia juga
kurang paham keinginan ibu.”
33.
KARTINI : “Misal. Di rumah tangga.
Wanita harus tetap menjadi ibu rumah tangga, mengurus semua kewajibannya
sebagai seorang ibu dari anak-anaknya dan istri dari suaminya. Sedangkan
suaminya, tetap menjadi kepala rumah tangga yang berkewajiban mencari nafkah,
untuk menghidupi istri dan anaknya.”
34.
AKU
: “Terus letak emansipasinya dimana…?”
35.
KARTINI : “Waktu memilih calon suami, wanita harus
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Saat menjadi istri, wanita
diberi kebebsan menyampaikan ide dan pendapatnya, bagaimana caranya agar rumah
tangga berjalan dengan baik, dapat mendidik anak dengan baik. Dapat menerapkan
segala ilmu dan pengetahuannya untuk mendidik anak agar menjadi anak yang
sholeh dan sholehah.”
36.
AKU
: “Ooo…!! Terus bagi wanita karier..!!”
37.
KARTINI : “ Wanita tidak diberi kewajiban menafkahi keluarga.
Karena itu semuasudah menjadi tugas dan kewajiban suami. Selama suaminya bisa
memenuhi semua kewajibannya, mengapa istri harus ikut bekerja..? Dunia hanya
sementara. Walau sekaya apapun kita, pasti akan ditinggalkan saat kita kembali
ke pada-Nya.”
38.
AKU
: “Berarti kalau suaminya, tidak bekerja, baru dia boleh menjadi
wanita Karier, demi mencari nafkah untuk keluarganya.”
39.
KARTINI : “Itu yang saya bilang kebablasan.”
40.
AKU
: “Maksudnya…?”
41.
KARTINI : “Saat suami terpaksa menganggur karena suatu
kendala tertentu, istri berperan mencarikan jalan, memotivasi, membantu moril
dan material agar suaminya bisa bangkit kembali. Bukan malah mengantikan poisi
suaminya. Istri bekerja, dan suaminya di rumah mengantikan perannya sebagai ibu
rumah tangga. Itu salah besar, toch…!”
42.
AKU
: “Kecuali, suaminya sakit yang tidak kunjung sembuh, yah..?”
43.
KARTINI : “Itu pun bukan berarti
otomatis harus ditinggal di rumah sementara istrinya bekerja di luar. Ciptakan
wirausaha yang bisa dikerjakan di rumah, buat warung misalnya, buat kerjianan
misalnya, agar istri tetap bisa melaksanakan kewajibannya.”.
44.
AKU
:Tapi apakah para wanita Indonesia paham akan semua itu….”
Aku
terus merenung, saking serisunya merenung, tampa sadar Ibu Kita Kartini yang
menemui aku itu telah pergi entah kemana. Aku memanggil-manggilnya dengan suara
keras, dan yang datang malah istriku dengan wajah cemburu. Dibenaknya tertanam
curiga, jangan-jangan aku sedang bermimpi dengan pacar lamaku yang juga bernama
Kartini.
Aku
pun segera bangun dari tidur. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan
pada Pahlawan Wanita R.A. Kartini yang hadir dalam mimpiku itu. Tapi mimpi
tetaplah mimpi. Tak bisa disambung lagi.